Suara Ponorogo - Kesenian Reog Ponorogo telah lama menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya Indonesia. Salah satu aspek yang mencolok dalam kesenian ini adalah penari Jathilan, yang sering kali diidentikkan dengan Kesenian Reog Ponorogo.
Di samping itu, terdapat juga karakter-karakter penting lainnya, seperti Bujang Ganong dan Warok. Namun, terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara generasi saat ini dan zaman dahulu terkait peran Jathil dalam kesenian ini.
Dalam tradisi Reog Ponorogo di masa lampau, penari Jathil diperankan oleh laki-laki yang menunggang kuda. Namun, dalam perkembangan zaman, peran tersebut berubah dan saat ini Jathil lebih sering diperankan oleh perempuan.
Perubahan ini telah menimbulkan kontroversi di kalangan sebagian masyarakat, yang terkadang sulit menerima perubahan tersebut.
Baca Juga:Penduduk Miskin Ekstrem RI Terancam Makin Banyak, Gegara Hal Ini
Agung Priyanto, salah satu penari Jathil lanang, dengan berani mengungkapkan bahwa ia tidak pernah merasa minder untuk mengakui bahwa dirinya adalah seorang penari Jathil lanang, meskipun kontroversi yang melingkupi perannya.
Ia merasa bangga dan tidak merasa malu karena pernah menjadi Jathil lanang.
Agung mengungkapkan bahwa ia menjadi Jathil lanang pada tahun 1980 dan sudah memiliki perlengkapan yang lengkap, mulai dari kuda kepang hingga kostum Jathil yang digunakan dalam pertunjukan.
"Saya dulu bangga menjadi jathil lanang. Dan saya sekarang mengakuinya. Tidak perlu malu karena pernah menjadi jathil lanang," kata Agung, saat ditemui usai tampil pada saat acaranya jamasan pusaka.
Agung juga menjelaskan bahwa pada zaman dahulu, penari Jathil dalam pertunjukan Reog memang merupakan laki-laki. Namun, dengan perkembangan zaman, terjadi perubahan dalam kesenian dan budaya agar lebih mudah diterima oleh masyarakat. Oleh karena itu, penari Jathilan kini umumnya diperankan oleh perempuan.
Baca Juga:Benarkah Kacamata Hitam Bukti Kelemahan Tatapan Desta ke Natasha Rizki saat di Ruang Sidang?
Selain itu, terdapat stigma yang menyatakan bahwa Jathil lanang identik dengan gemblak, padahal keduanya adalah dua hal yang berbeda. Gemblak adalah pemuda yang diasuh oleh seorang Warok dan bertugas melayani Warok tersebut. Hal ini tidak memiliki kaitan dengan homoseksualitas seperti yang digambarkan oleh beberapa orang.
"Ada stigma tentang jathil lanang yang sama dengan gemblak. Padahal itu berbeda karena jathil lanang adalah penari, dalam setiap pertunjukan reog," terangnya.
Dengan munculnya penari Jathil lanang, diharapkan masyarakat dapat lebih memahami perbedaan antara penari Jathil dan gemblak.
Stigma negatif yang melekat pada gemblak sebagai penyimpangan seksual juga dapat diubah. Gemblak dipilih tidak hanya karena wajahnya yang rupawan, tetapi juga karena berasal dari kalangan yang kurang mampu.
Artinya, melalui kesenian ini, martabat mereka ditingkatkan. Selain itu, beberapa gemblak juga mampu menari Jathil.
Pada intinya, yang terpenting bukanlah benar atau salahnya penari Jathil perempuan atau laki-laki, melainkan bagaimana kita dapat terus meneruskan dan melestarikan budaya dan kesenian peninggalan nenek moyang kita.
Melalui pemahaman yang lebih baik tentang perubahan ini, diharapkan budaya dan kesenian Reog Ponorogo tetap hidup dan dihargai oleh generasi-generasi mendatang